Monday, January 14, 2013
Wednesday, December 19, 2012
Parent Tips For Autism
Parent Tips: Explaining Autism Using Everyday Examples
We’ve all been there. The glaring stares of others as our children react by melting down from sensory overload, or race to the kitchen to explore the inner workings at a restaurant, or repeatedly jump up with excitement when everyone else is sitting quietly. So how do we explain autism to someone who doesn’t understand, has never had close experience with someone with autism, or who hasn’t yet learned that autism is a broad spectrum disorder? Here are some everyday examples to help people understand autism using familiar frameworks.
Verbal does not mean smarter
Have you ever had a bad case of laryngitis? It was frustrating not being able to say what you meant or ask for things you needed, wasn’t it? But while you couldn’t speak, you were still processing information and your intelligence level certainly didn’t change. And were you given the benefit of alternative communication by using a pencil and paper, or a computer?
Running out of the classroom
Sensory overload might be difficult for most of us to appreciate. So imagine putting a desk inside the Harbor Tunnel during rush hour. About 40 feet away from the desk stands a teacher who is going to orally give you algebraic word problems to complete. How long would you be able to sit there with the flashing lights and thunderous sounds of the cars racing by? And how well would you do on those algebra problems?
OUCH – that hurts!
Let’s continue with more on sensory issues. Have you ever had a tag in your shirt that really bothered you? Yes? Good. Now let’s add cactus needles to that tag. Lots of them. We don’t know why people with autism have incredibly heightened sensitivities, but they are very real.
Over excitement
Let’s pretend you and your child are attending a birthday party where a magician is performing. Your child is jumping up and excitedly running up to the magician or calling out and another parent is noticeably annoyed and asks you to control your child. While we would all agree that this parent perhaps needs his own time out, remind him how it feels when we go to a baseball or football game and our team has just hit a homerun or scored a touchdown. We jump, we yell, we high-five the strangers behind us. If only the rest of us could experience that level of joy from everyday activities.
Flexible thinking and transitions
We all recently experienced the joy of preparing our taxes. You were in that “tax zone” – your mind fully concentrating on receipts, expenses and wondering what other exemptions you may have forgotten. How would you have reacted if while in this zone, someone came along and turned your computer off? Or how would you react if during the Superbowl in a close game in the 4th quarter your cable suddenly went out? That’s how our child who is working on a puzzle feels when you suddenly announce it’s time to pack up and go.
Must touch!
We’ve been in the elevator and have seen “that look” in our children’s eyes and we know what they are about to do. Yes – they are going to hit every button. As the other passengers begin to roll their eyes, ask them to take a moment (because you have the time now on this long elevator ride!) and think of freshly baked chocolate chip cookies. But they can’t have one. The soft doughy centers, the gooey chocolate, the irresistible smell. And it’s a giant plate full, so no one would even notice if one was missing. And the plate is so close it’s almost touching their shirts. But, they are not allowed to eat one and really, they need to pretend the cookies aren’t there. How easy is that?
That’s not what I meant
How often have you gotten an email or sent an email and the intention of the message was completely misunderstood? Without the verbal tones and facial cues most of us rely on for message interpretation, it’s not uncommon to misread intent. Now, imagine all of your communication was carried out by tone deaf emails and you had to guess the intent of each message. Or, travel to a far away country and try to understand metaphors that are cultural specific and make no sense to you. Think how much more comfortable you would be in that country if people just said exactly what they meant.
We’re not fooling ourselves. There will always be people who don’t understand, or who don’t display the tolerance we wish they had. But maybe together we can reach enough people to make a difference and give people that “ah-ha!” moment and make the world a more comfortable place for the people we love with autism.
Anak Autis Butuh Sekolah Khusus
BONTANG, KOMPAS.com - Penanganan anak autis ternyata butuh perlakuan khusus sehingga sekolah dan sistem pendidikannya juga tersendiri, jadi tidak bisa digabung dengan siswa di sekolah luar biasa (SLB) untuk anak cacat maupun hanya terapi autis.
“Mereka (anak autis) membutuhkan sekolah khusus, bukan SLB apalagi hanya terapi autis,” kata Kepala Sekolah Borneo Center Bontang, Nawawiartie, di Bontang, Rabu (28/9/2011).
Nawawiartie ibu dari seorang anak autis yang kini telah berumur 12 tahun cukup berpengalaman menangani anak-anak berkebutuhan khusus termasuk anaknya.
“Awalnya kami para orangtua anak autis membentuk perkumpulan Persatuan Orangtua Penyandang Anak Berkebutuhan Khusus atau POPA tetapi sejak dibentuk tahun 2003 namun tidak ada kelanjutan organisasi,” ujar dia.
Dia lantas mendirikan Sekolah Borneo Center Anak Berkebutuhan Khusus. Para siswa saat ini berjumlah 20 orang, yang aktif masuk 10 orang. Mereka setara dengan taman kanak-kanak dan sekolah dasar, diasuh tiga guru.
“Sebenarnya ada juga anak setara sekolah menengah tetapi kemarin saat mendaftar saya tolak karena kurangnya guru disini. Tetapi setelah mendapat tambahan guru mengajar dari rekan guru sekolah menengah dalam waktu dekat ini, maka kami akan terima mereka dengan waktu belajar pada sore hari,” ujarnya.
Nawawiartie yang baru saja pensiun dini dari profesi PNS saat ini bertekad mencurahkan seluruh perhatian untuk perkembangan sekolah khusus ABK. Menurutnya anak autis saat dipindah ke sekolah normal biasanya akan mengalami kesulitan menyesuikan diri.
“Pola yang pas buat mereka adalah sekolah khusus, dan tahun ini kami telah meluluskan satu siswa melalui ujian paket setara sekolah dasar,” ucapnya.
Dia mengakui bahwa para orang tua siswa autis, kadang mencoba memindah anaknya ke lembaga terapi autis maupun sekolah normal, ketika menyadari itu tidak cocok maka biasanya akan dikembalikan ke sekolah khusus ABK.
Anak autis juga tidak cocok sekolah di SLB karena SLB adalah sekolah khusus anak cacat. Sementara kondisi anak autis, kadang memiliki tingkat intelegensia tinggi, yang kadang tidak dapat mengontrol tingkah lakunya.
“Terpenting buat anak saya yang autis adalah memilik ketrampilan hidup, dan sesuai tingkatan anak saya akan saya ikutkan ujian kejar paket,” imbuh salah satu orangtua anak autis yang terpaksa memindah anaknya keterapi autis, lalu sekolah normal, dan akhirnya kembali ke Sekolah Borneo Center ABK.
Tips Menenangkan Anak Hiperaktif
Anak hiperaktif cenderung selalu bergerak. Mereka tidak bisa duduk diam dalam jangka waktu yang lama.
Kondisi ini bisa membuat frustasi orangtua, guru, bahkan anak itu sendiri. Bagi yang tidak ingin menggunakan obat-obatan atau suplemen, berikut ada cara alami baik fisik maupun psikologis untuk menangani energi berlebih dan menenangkan anak hiperaktif :
1. Bantu anak hiperaktif mengatur napasnya ketika anak ingin menenangkan diri, terutama jika anak merasa marah atau frustasi.
Dorong anak untuk mengambil napas dalam-dalam, hirup napas dari hidung dan buang melalui mulut secara perlahan.
2. Hilangkan stres pada anak hiperaktif dengan membiarkan anak mandi busa atau mandi air garam hangat.
Tambahkan satu atau dua mainan sederhana ke dalam bak mandi, tapi hindari memberi anak terlalu banyak mainan.
3. Beri stimulasi fisik pada anak hiperaktif dengan memberinya pijatan lembut. Sentuhan hangat dari Anda akan membuat anak tahu bahwa Anda mencintainya, selain itu, gerakan pijatan memiliki efek menenangkan.
4. Taruh perlengkapan aktivitas atau mainan yang dapat membuat anak tenang. Perlengkapan aktivitas atau mainan anak yang tenang antara lain teka-teki, cat, peralatan membuat perhiasan, dan buku-buku favorit.
Taruh di dekat mainan anak yang lain, sehingga anak bisa menggunakannya saat dia ingin tenang sebentar.
5. Atur suasana ruangan dengan menjaga pencahayaan yang redup atau menyetel musik relaksasi ketika anak hiperaktif butuh ketenangan.
6. Lakukankah aktivitas secara rutin setiap harinya, sehingga anak hiperaktif tahu apa yang mereka harapkan dan apa yang diharapkan dari mereka.
Persiapkan anak ketika akan melakukan aktivitas yang tidak biasa dan jelaskan apa yang akan terjadi.
Selain itu, diskusikan juga bagaimana cara mereka tetap tenang bahkan dengan kegembiraan yang mungkin akan mereka alami dari kegiatan yang berbeda tersebut.
7. Hindarkan anak dari minuman dingin, gula, pewarna makanan, dan bahan pengawet dalam makanan yang bisa menyebabkan agitasi.
8. Sediakan waktu untuk menampung energi ekstra, seperti lari berkeliling dan berolahraga.
Ini akan membantu anak hiperaktif tahu bahwa ada waktu dan tempat untuk melepaskan kelebihan energi, sehingga membantu anak tetap tenang dalam situasi lainnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)