Saturday, October 16, 2010

Cinta Seorang Adik :))

Aku dilahirkan di sebuah desa pegunungan yang terpencil. Orangtuaku petani. Hari demi hari, orangtuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap langit. Aku mempunyai seorang adik laki-laki, yang 3 tahun usianya lebih muda dari diriku, yang mencintaiku lebih dari aku mencintainya.

Suatu ketika aku menginginkan sarung tangan seperti gadis-gadis lain yang memilikinya juga. Untuk itu, aku mengambil uang ayahku di lacinya. Ayahku segera menyadari kehilangan. Beliau membuat kami, aku dan adikku berlutut di depan tembok, dengan bilah bamboo di tangannya.

“Siapa yang mencuri uang itu?” hardik ayahku. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi dia berkata, “Baiklah jika begitu kalian berdua layak dipukul.”

Ayah mengangkat bilah bambu tinggi-tinggi dan siap memukulkannya kepada kami. Tiba-tiba adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya.”

Bilah bambu itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga dia mencambuki adikku sampai tersengal-sengal kehabisan nafas. Sesudahnya Ayah duduk di kursi batu kamu dan berkata dengan marah, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang. Hal apa lagi yang akan kamu lakukan kelak? Kamu layak dipukul sampai mati. Kamu pencuri tidak tahu malu.”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Punggungnya penuh luka. Tapi dia tidak meneteskan air mata sedikit pun. Di tengah malam itu, aku menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis. Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku yang tidak memiliki keberanian untuk mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tetapi insiden itu masih terasa seperti kemarin. Aku tidak akan pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Saat itu dia berusia 8 dan aku 11.

Ketika adikku menyelesaikan SMP, dia diterima di SMA di kota kabupaten. Saat yang sama aku diterima masuk Universitas di kota Provinsi. Suatu malam, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya bungkus demi bungkus. Aku mendengarnya berkata berat, “Kedua anak kita begitu baik prestasinya.” Saat yang sama Ibu terlihat menghapus air mata yang mengalir dan menghela nafa. “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”

Saat itu juga adikku keluar menemui ayah dan berkata, “Ayah, aku tidak mau sekolah lagi. Aku telah cukup dengan membaca buku.”

Ayah mengayunkan tangannya ke wajah adikku, menamparnya. “Mengapa kamu mempunyai jiwa yang keparat lemahnya? Bahkan jika aku harus mengemis di jalanan, aku akan menyekolahkan kalian berdua sampai selesai.” Dan kemudian ia mengetuk setiap rumah di desa itu untuk meminjam uang.

Kuulurkan tanganku selembut mungkin ke wajah adikku yang membengkak, dan kubilang, “Anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak, ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan seperti ini.” Aku, sebaliknya telah memutuskan untuk tidak meneruskan ke Universitas.

Siapa kira keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di bantalku: “Kak, masuk ke Universitas tidak mudah. Aku akan cari kerja dan mengirimimu uang.”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku menghilang. Tahun itu, adikku berusia 16. Aku 19.

Dengan uang yang dipinjam ayahku dari seluruh orang desa dan uang hasil adikku dari mengangkut semen di punggungnya di sebuah perusahaan konstruksi, aku akhirnya sampai di tahun ke tiga. Suatu hari, aku sedang belajar di kamar kosku ketika seorang teman masuk dan memberi tahu, “Ada penduduk desa menunggumu di luar.”

Mengapa ada penduduk desa yang mencariku? Aku berjalan keluar. Kulihat adikku dari jauh. Seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. “Mengapa kamu tidak bilang ke temanku kalau kamu adikku?” tanyaku.

Tersenyum, dia menjawab, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu aku adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”

Aku merasa begitu trenyuh dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari tubuh adikku. “Aku tidak peduli omongan siapa pun! Kamu adikku bagaimanapun juga! Kamu adalah adikku bagaimanapun penampilanmu,” kataku tercekat-cekat.

Dari sakunya dia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikan kepadaku, dan menjelaskan, “Kulihat semua gadis kota memakainya. Jadi, kupikir kamu pun harus memiliki satu.”

Aku tidak dapat menahan diri lagi. Aku menarik adikku dalam pelukanku dan menangis, dan menangis. Tahun itu, dia berusia 19. Aku 22.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti. Di mana-mana kelihatan bersih tidak seperti sebelumnya. Setelah pacarku pulang, aku menari bak gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adikmu, yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu lihat luka ditangannya? Itu terluka akibat memasang kaca jendela baru itu.”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, ribuan jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan antiseptik ke lukanya dan membalutnya. “Apakah itu sakit?” tanyaku. Dia menggelengkan kepala.

“Tidak. Tidak sakit. Ini karena… Kamu tahu, ketika aku bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan di kakiku. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja, dan..” Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata deras mengalir ke wajahku. Saat itu dia 23. Aku 26.

Adikku berusia 30 tahun ketika dia menikahi seorang gadis petani dari desa itu. Pada acara pernikahannya, pembawa acara bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Bahkan tanpa berpikir dia menjawab, “Kakakku!”

Dia melanjutkan dengan sebuah cerita yang bahkan tak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah saat SD yang ada di desa lain, saya dan kakak harus berjalan 2 jam untuk pergi ke sekolah. Suatu hari saya kehilangan satu sarung tangan. Kakak saya memberikan satu kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan selama itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetar karena cuaca yang begitu dinginnya, sampai-sampai dia tidak bisa memegang sumpitnya. Sejak hari itu saya bersumpah, selama saya masih hidup saya akan menjaga kakak dan akan selalu baik padanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu dan semua orang memalingkan perhatian padaku.

Bibirku terasa kelu. Kata-kata begitu susah kuucapkan, “Dalam hidupku, orang yang paling dalam terima kasihku adalah adikku.”

Sahabat, kebaikan tidak akan pernah berbalas dengan keburukan, walaupun ada, percayalah keburukan itu hanya pembungkus yang sebenarnya didalamnya terdapat sejuta balasan kebaikan dari apa yang telah kita perbuat. Jangan pernah berhenti untuk menyayangi orang-orang terdekat anda, karena kita semua tahu keberadaan mereka telah menjadi suatu bagian dari kehidupan kita. Kita tidak dapat berdiri sendiri, senantiasa teruslah memperbagus hubungan dengan sesama makhluk ciptaan-Nya.

^^

Jendela Rumah Sakit :))

Dua orang pria, keduanya menderita sakit keras, sedang dirawat di sebuah kamar rumah sakit. Seorang di antaranya menderita suatu penyakit yang mengharuskannya duduk di tempat tidur selama satu jam di setiap sore untuk mengosongkan cairan dari paru-parunya. Kebetulan, tempat tidurnya berada tepat di sisi jendela satu-satunya yang ada di kamar itu. Sedangkan pria yang lain harus berbaring lurus di atas punggungnya.


Setiap hari mereka saling bercakap-cakap selama berjam-jam. Mereka membicarakan istri dan keluarga, rumah, pekerjaan, keterlibatan mereka di ketentaraan, dan tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi selama liburan.

Setiap sore, ketika pria yang tempat tidurnya berada dekat jendela di perbolehkan untuk duduk, ia menceritakan tentang apa yang terlihat di luar jendela kepada rekan sekamarnya. Selama satu jam itulah, pria ke dua merasa begitu senang dan bergairah membayangkan betapa luas dan indahnya semua kegiatan dan warna-warna indah yang ada di luar sana.

"Di luar jendela, tampak sebuah taman dengan kolam yang indah. Itik dan angsa berenang-renang cantik, sedangkan anak-anak bermain dengan perahu-perahu mainan. Beberapa pasangan berjalan bergandengan di tengah taman yang dipenuhi dengan berbagai macam bunga berwarnakan pelangi. Sebuah pohon tua besar menghiasi taman itu. Jauh di atas sana terlihat kaki langit kota yang mempesona. Suatu senja yang indah."

Pria pertama itu menceritakan keadaan di luar jendela dengan detil, sedangkan pria yang lain berbaring memejamkan mata membayangkan semua keindahan pemandangan itu. Perasaannya menjadi lebih tenang, dalam menjalani kesehariannya di rumah sakit itu. Semangat hidupnya menjadi lebih kuat, percaya dirinya bertambah.

Pada suatu sore yang lain, pria yang duduk di dekat jendela menceritakan tentang parade karnaval yang sedang melintas. Meski pria yang ke dua tidak dapat mendengar suara parade itu, namun ia dapat melihatnya melalui pandangan mata pria yang pertama yang menggambarkan semua itu dengan kata-kata yang indah.

Begitulah seterusnya, dari hari ke hari. Dan, satu minggu pun berlalu.

Suatu pagi, perawat datang membawa sebaskom air hangat untuk mandi. Ia mendapati ternyata pria yang berbaring di dekat jendela itu telah meninggal dunia dengan tenang dalam tidurnya. Perawat itu menjadi sedih lalu memanggil perawat lain untuk memindahkannya ke ruang jenazah. Kemudian pria yang kedua ini meminta pada perawat agar ia bisa dipindahkan ke tempat tidur di dekat jendela itu. Perawat itu menuruti kemauannya dengan senang hati dan mempersiapkan segala sesuatu ya. Ketika semuanya selesai, ia meninggalkan pria tadi seorang diri dalam kamar.

Dengan perlahan dan kesakitan, pria ini memaksakan dirinya untuk bangun. Ia ingin sekali melihat keindahan dunia luar melalui jendela itu. Betapa senangnya, akhirnya ia bisa melihat sendiri dan menikmati semua keindahan itu. Hatinya tegang, perlahan ia menjengukkan kepalanya ke jendela di samping tempat tidurnya. Apa yang dilihatnya? Ternyata, jendela itu menghadap ke sebuah TEMBOK KOSONG!!!

Ia berseru memanggil perawat dan menanyakan apa yang membuat teman pria yang sudah wafat tadi bercerita seolah-olah melihat semua pemandangan yang luar biasa indah di balik jendela itu. Perawat itu menjawab bahwa sesungguhnya pria tadi adalah seorang yang buta bahkan tidak bisa melihat tembok sekalipun.

"Barangkali ia ingin memberimu semangat hidup," kata perawat itu.



Sahabatku, saya percaya, setiap kata selalu bermakna bagi setiap orang yang mendengarnya. Setiap kata, adalah layaknya pemicu, yang mampu menelisik sisi terdalam hati manusia, dan membuat kita melakukan sesuatu. Kata-kata, akan selalu memacu dan memicu kita untuk menggerakkan setiap anggota tubuh kita, dalam berpikir, dan bertindak.

Saya juga percaya, dalam kata-kata, tersimpan kekuatan yang sangat kuat. Dan kita telah sama-sama melihatnya dalam cerita tadi. Kekuatan kata-kata, akan selalu hadir pada kita yang percaya.

Saya percaya, kata-kata yang santun, sopan, penuh dengan motivasi, bernilai dukungan, memberikan kontribusi positif dalam setiap langkah manusia. Ujaran-ujaran yang bersemangat, tutur kata yang membangun, selalu menghadirkan sisi terbaik dalam hidup kita. Ada hal-hal yang mempesona saat kita mampu memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Menyampaikan keburukan, sebanding dengan setengah kemuraman, namun, menyampaikan kebahagiaan akan melipatgandakan kebahagiaan itu sendiri.

Dan akhirnya saya percaya, kita, saya dan juga Anda, mampu untuk melakukan itu semua. Menyampaikan setiap ujaran dengan santun, dengan sopan, akan selalu lebih baik daripada menyampaikannya dengan ketus, gerutu, atau dengan kesal. Sampaikanlah semua itu dengan bijak, dengan santun. Saya percaya kita bisa.

Trimakasih telah membaca cerita ini…. Semoga bermanfaat.

Wanita itu... :))

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya pada ibunya.
"Ibu, mengapa Ibu menangis?". Ibunya menjawab, "Sebab aku wanita". "Aku tak mengerti" kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. "Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti...."

Kemudian anak itu bertanya pada ayahnya. "Ayah, mengapa Ibu menangis?, Ibu menangis tanpa sebab yang jelas". sang ayah menjawab, "Semua wanita memang sering menangis tanpa alasan".

Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya. Sampai kemudian si anak itu tumbuh menjadi remaja, ia tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis. Hingga pada suatu malam, ia bermimpi dan
bertanya kepada Tuhan, "Ya Allah, mengapa wanita mudah sekali
menangis?"

Dalam mimpinya ia merasa seolah Tuhan menjawab, "Saat Kuciptakan
wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.

Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau kerap berulangkali ia menerima cerca dari anaknya itu.

Kuberikan keperkasaan yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang
menyerah saat semua orang sudah putus asa.

Kepada wanita, Kuberikan kesabaran untuk merawat keluarganya walau
letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.

Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai semua anaknya dalam kondisi dan situasi apapun. Walau acapkali anak-anaknya itu melukai perasaan dan hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang mengantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.

Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya melalui masa-masa sulit dan menjadi pelindung baginya. Sebab bukannya tulang rusuk yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak.

Kuberikan kepadanya kebijaksanaan dan kemampuan untuk memberikan
pengertian dan menyadarkan bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau seringkali pula kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami agar tetap berdiri sejajar, saling melengkapi dan saling menyayangi.

Dan akhirnya Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapan pun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya air mata ini adalah air mata kehidupan".

***

Sahabatku, sungguh mulia kedudukan wanita sehingga Tuhan saja memberi perhatian yang khusus kepada MakhlukNya yang unik ini, begitu besar peranannya di muka bumi ini,,,maka hargailah. ^_^

"Kepada para IBU yang telah melahirkan dan mendidik kita, semoga Tuhan memberiMu keberkahan di dunia dan kedudukan yang mulia di Syurga Kelak, Amin."

"Kepada para istri dan anak2 kita, semoga dapat menjadi Istri solehah dan anak2 yang berbakti, kelak mereka pun menjelma menjadi IBU untuk anak2 kita dan cucu2 kita,,"

"Kepada para Wanita, sungguh Kalian adalah Unik dan spesial, maka semoga menjadi Wanita yang selalu disayang Tuhan. ^_^"

Terima kasih sahabat. tetap semangat !! ^_^

Friday, June 4, 2010

Keturunan Nabi Muhammad SAW :)

Dari dua belas wanita yang Rasulullah saw nikahi, hanya Khadijah binti Khuwalid dan Mariah Al-Qabtiyya yang memberi beliau keturunan. Pernikahan Nabi Muhammad saw dengan Khadijah dikaruniai tujuh orang anak, diantaranya tiga putra (Al Qasim, Abdullah, dan Tayyib) yang meninggal dunia sewaktu masih kecil dan empat putri (Zainab, Ruqayyah,Ummi Kaltsum, dan Fatimah). Sedangkan dari pernikahan beliau dengan Mariah Al-Qabtiyya dikarunia seorang anak bernama Ibrahim yang meninggal sewaktu masih kecil.
Dengan demikian, jumlah anak Nabi Muhammad asaw dalah delapan orang, empat laki-laki yang kesemuanya meninggal sewakti masih kecil, serta empat wanita. Putranya yang bernama Ibrahim hanya hidup selama 18 bulan. Nabi saw menyaksikan ketika dia menghembuskan nafas yang terakhir sambil meneteskan air mata, beliau berkata “mata boleh meneteskan air, hati boleh bersedih, tapi kita tidak boleh mengucapkan kalimat yang tidak diridhoi Allah”.
Zainab binti Muhammad adalah putrid sulung Rasulullah saw. Zainab dipersunting oleh Abul Ash bin Rabi’. Dia memeluk agama Islam dan ikut hijrah ke Madinah, sementara suaminya bertahan dalam agamanya di Mekah sampai dia tertawan dalam perang Badar. Di saat itu, Nabi Muhammad saw meminta kepadanya untuk menceraikan Zainab, lalu diceraikannya. Setelah dia masuk Islam, Rasulullah saw menikahkan mereka kembali. Zainab binti Muhammad wafat di tahun 8 H.
Ruqayyah dipersunting oleh Utbah bin Abu Lahab sewaktu Jahiliah. Setelah munculnya Islam dan turunnya ayat yang berarti “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS. al-Lahab : 1) dia langsung dicerai oleh suaminya atas perintah Abu Lahab. Dia memeluk Islam bersama ibunya. Kemudian dia dinikahi oleh Usman bin Affan dan ikut bersama suaminya hijrah ke Abessina (habasyah), kemudian mereka kembali dan menetap di Madinah dan seterusnya meninggal di kota itu pula. Sepeninggal Ruqayyah di tahun 2 H, adiknya yang bernama Ummi Kaltsum dinikahi oleh Usman bin Affan dan ikut berhijrah ke Madinah. Ummi Kaltsum wafat di tahun 9 H/639 M.
Putri bungsu Nabi Muhammad saw adalah Fatimah Az-Zahra. Fatimah adalah putri kesayangan Nabi Muhammad saw. Selain itu, ia juga merupakan seorang putri Nabi saw yang paling terkenal di dunia Islam. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di Mekah sehingga mengalami secara langsung tekanan dan penyiksaan yang menimpa keluarganya, karena pada masa itu Nabi Muhammad saw baru memulai perjuangannya mensyiarkan Islam. Sedangkan masa remaja dan dewasanya, Fatimah tinggal di Madinah.
Fatimah binti Muhammad menikah dengan Ali bin Abu Thalib. Dari pernikahannya itu, dikaruniai lima orang keturunan, tiga putra (Hasan, Husein, dan Muhassin) dan dua putri (Ummi Kultsum dan Zainab). Fatimah adalah seorang wanita yang pintar dan ikut pula dalam perjuangan syiar Islam. Ia meninggal pada tahun 11 H.

Semoga bermanfaat :))

Thursday, June 3, 2010

POHON APEL TUA

Alkisah hiduplah sebatang pohon apel.

Seorang anak laki-laki gemar datang dan bermain disekitarnya, setiap hari. Ia gemar memanjati sampai puncaknya, menikmati kelezatan buahnya, rehat di balik bayangannya. Ia mencintai pohon Apel itu dan sang pohon pun senang bermain dengannya.

Waktu berlalu … Dan bocah itu kini telah dewasa dan tak lagi bermain di sekitar pohon itu lagi.

Pada suatu hari, si bocah tampak kembali kepada sang pohon, dan ia kelihatan sedih.

“Saya bukan lagi anak-anak, saya tidak lagi bermain di sekeliling pohon. Saya ingin mainan. Saya butuh uang untuk membelinya”.

“Maaf, tapi aku tak memilikinya, tapi kamu dapat memetik semua apelku dan menjualnya. Maka, kau akan mendapatkan uang”.

Anak itu begitu senangnya. Ia petik semua apel dari pohon itu dan meninggalkannya dengan suka cita. Anak itu tak pernah lagi kembali setelah memetik sebuah apel. Sang pohon pun bersedih.

Suatu hari, si anak kembali lagi, dan betapa senangnya si pohon apel.

“Ayo, bermainlah dengan saya,” kata si pohon.

“Saya tak punya waktu untuk bermain. Saya harus mencari nafkah untuk keluargaku. Kami perlu sebuah rumah untuk berteduh. Bisakah kamu menolongku ?”

“Maaf, tapi aku tidak punya rumah, tapi kau bisa memangkas batang-batangku untuk membangun rumahmu.”

Maka si anak lelaki itu menebangi semua batang pohon apel itu dan meninggalkannya dengan rasa bahagia. Pohon itu bahagia melihatnya tampak bahagia, tapi si anak itu tak pernah kembali lagi. Pohon itu kembali kesepian, dan bersedih hati kembali.

Pada suatu hari yang panas, si anak kembali dan pohon itu sungguh senang.

“Datanglah dan mari bermain denganku!” kata si pohon.

“Saya sedang duka dan mulai tua. Saya ingin pergi berlayar untuk bersantai. Bisakah kau memberiku sebuah layar?”

“Pakailah dahanku untuk membikin perahumu. Kau dapat berlayar jauh dan bersenang-senang.”

Maka si anak lantas memotong dahan untuk membuat perahu. Lalu pergi berlayar dan tak pernah menampakkan diri untuk waktu yang lama.

Akhirnya, si anak kembali setelah pergi bertahun-tahun.

“Maaf, anakku. Tapi kini tak lagi ada sesuatu pun padaku yang dapat kuberikan untukmu. Tak ada lagi buah-buah apel untukmu,” kata pohon apel dengan sedih.

“Saya toh tak lagi punya gigi untuk mengunyah,” jawab si anak.

“Tak ada lagi dahan yang dapat kau panjati.”

“Saya terlalu tua untuk itu sekarang,” kata si anak lagi.

“Saya sungguh tak memiliki apapun lagi untukmu … yang tertinggal kini hanyalah akar tuaku yang mulai mati,” kata si pohon dengan berlinang air mata.

“Saya tak perlu banyak sekarang, hanya tempat untuk beristirahat. Saya telah lelah untuk semuanya akhri-akhir ini,” kata si anak.

“Bagus! Akar tua pepohonan adalah tempat terbaik untuk bersandar dan beristirahat. Mari, duduklah bersamaku dan beristirahatlah.”

Anak itu pun duduklah dan pohon sangat gembira dan tersenyum sambil berurai air mata…

Ini adalah kisah setiap orang.Di Ibaratkan, Si pohon adalah ORANGTUA kita. Saat kita masih muda, kita senang bermain dengan AYAH dan BUNDA…Ketika kita dewasa, kita tinggalkan mereka…dan hanya datang saat butuh bantuan.

Apapun, ORANGTUA akan selalu di sana dan memberikan segalanya untuk membuatmu bahagia. Mungkin Kalian akan berpikir betapa KEJAMNYA si anak terhadap si pohon, tapi begitulah cara kita semua memperlakukan ORANGTUA kita.

DIKUTIP DARI BUKU mengasah hati (44 MUTIARA HIDUP yang akan Membuat Hati Anda Sebening Kaca) PENULIS “ZAIM SAIDI”.


sumberterakhir, syahrijal's note

Love, Erika Nur Amalina